BONE — Dinamika politik di DPRD Kabupaten Bone kembali menjadi sorotan publik. Laporan pelanggaran tata tertib dan kode etik terhadap Ketua DPRD Bone, Andi Tenri Walinonong, SH, serta mosi tidak percaya yang diajukan oleh 35 anggota dewan dan delapan fraksi plus pimpinan DPRD Bone, kini menjadi pembicaraan hangat di berbagai kalangan.
Akademisi hukum Universitas Bosowasi, Dr. Ade Ferry Afrisal, S.H., M.Sc, yang juga merupakan mantan anggota DPRD Bone, menilai bahwa persoalan ini seharusnya diselesaikan secara arif melalui mekanisme internal lembaga. Menurutnya, hal utama yang perlu dipahami adalah makna dan penerapan prinsip kolektif kolegial dalam pengambilan keputusan lembaga legislatif.
“Keputusan kolektif kolegial itu tidak mesti harus sama. Prinsipnya sama seperti musyawarah mufakat, dan kalau tidak tercapai, bisa dilakukan voting,” jelas Dr. Ade Ferry saat dimintai tanggapan, Jumat (17/10/2025).
“Selama semua pihak terlibat dalam proses pengambilan keputusan, maka hasilnya mencerminkan kolektif kolegial. Tapi kalau ada pihak yang merasa tidak dilibatkan sama sekali, itu bisa menjadi persoalan tersendiri,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa keterlibatan seluruh unsur dalam pengambilan keputusan menjadi indikator utama apakah prinsip kolektif kolegial benar-benar dijalankan.
“Kalau seseorang tidak setuju dengan hasil keputusan tapi dia ikut dalam prosesnya, maka secara etika dia tetap terikat oleh hasil kolektif. Namun kalau memang tidak terlibat sama sekali dalam prosesnya, maka ini bisa jadi masalah karena tidak mencerminkan prinsip kolektif kolegial yang sebenarnya,” ujarnya.
Sebagai mantan legislator, Dr. Ade Ferry juga menyinggung soal pentingnya disiplin fraksi dalam memberikan pandangan akhir terhadap suatu keputusan.
“Ketika pandangan fraksi sudah memberikan persetujuan, etikanya harus satu suara di akhir. Ini perlu ditelusuri, apakah proses pengambilan keputusan fraksi benar-benar melibatkan semua anggota atau tidak,” katanya.
“Biasanya, keputusan fraksi itu tercatat dalam berita acara rapat, siapa yang setuju dan siapa yang tidak. Tapi sampai sekarang, hal itu belum pernah terlihat secara jelas,” imbuhnya.
Mengenai laporan pelanggaran etik dan mosi tidak percaya yang diajukan ke DPRD Bone, Dr. Ade Ferry menilai ada kerancuan dalam memahami dua hal tersebut.
“Mosi tidak percaya dan pelanggaran etik adalah dua hal yang berbeda. Mosi tidak percaya merupakan hak politik anggota DPRD dan biasanya disampaikan melalui mekanisme partai. Sementara pelanggaran etik adalah ranah Badan Kehormatan (BK) DPRD,” jelasnya.
“Kalau mosi tidak percaya, BK tidak memiliki kewenangan untuk menanganinya. Tapi kalau pelanggaran etik, itu baru menjadi kewenangan BK,” tegasnya.
Ia berharap agar permasalahan ini tidak menimbulkan kegaduhan yang berkepanjangan di masyarakat.
“Idealnya, persoalan seperti ini diselesaikan secara internal lembaga tanpa perlu menjadi polemik publik. DPRD tetap harus menjaga marwahnya sebagai lembaga representatif rakyat dengan mengedepankan etika dan kebersamaan,” tutupnya. (*)



Tinggalkan Balasan