BONE — Lembaga DPRD Kabupaten Bone tengah menjadi sorotan publik setelah munculnya laporan pelanggaran tata tertib dan kode etik yang dilayangkan terhadap Ketua DPRD Bone, Andi Tenri Walinonong, S.H.. Tidak tanggung-tanggung, sebanyak 35 anggota DPRD Bone bersama delapan fraksi plus pimpinan DPRD secara resmi mengajukan mosi tidak percaya terhadap kepemimpinan politisi perempuan dari Partai Gerindra itu.
Isu ini berkembang menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat Bone. Suara-suara publik terbelah, antara yang mendukung langkah para anggota DPRD, dan yang menilai seharusnya permasalahan ini bisa diselesaikan secara internal tanpa harus menciptakan kegaduhan politik.
Di tengah dinamika tersebut, Akademisi Hukum Universitas Bosowa Makassar, Dr. Ade Ferry Afrisal, S.H., M.Sc, yang juga mantan anggota DPRD Kabupaten Bone, memberikan pandangan mendalam tentang persoalan kolektif kolegial yang kini menjadi jantung perdebatan.
“Keputusan kolektif kolegial itu tidak mesti harus sama, tetapi diambil melalui keterlibatan semua unsur pimpinan dan anggota. Selama semua ikut dalam prosesnya, maka hasil keputusan harus dihormati, meski tidak semua setuju,” ujar Ade Ferry.
Menurutnya, esensi kolektif kolegial adalah musyawarah yang melibatkan semua pihak. Jika tidak tercapai mufakat, maka pengambilan keputusan bisa dilakukan dengan voting, asalkan seluruh anggota terlibat dalam proses tersebut.
“Yang perlu dipahami, apakah semua pihak benar-benar dilibatkan atau tidak. Kalau tidak terlibat dalam proses pengambilan keputusan, maka itu menjadi kendala serius. Namun jika terlibat dan tidak setuju, tetap harus ikut keputusan mayoritas. Itulah makna kolektif kolegial,” tambahnya.
Sebagai mantan legislator, Ade Ferry juga menyoroti pentingnya etik politik di tubuh fraksi. Menurutnya, ketika fraksi sudah mengambil keputusan, seharusnya pandangan akhir di forum lembaga harus satu suara.
“Ini juga harus jelas, apakah keputusan fraksi diambil secara terbuka dan melibatkan semua atau tidak. Kalau kolektif kolegial berjalan baik, maka suara keluar harus satu suara,” tuturnya.
Dalam laporan yang diterima oleh DPRD Kabupaten Bone, para anggota menyebut Ketua DPRD Andi Tenri Walinonong, S.H. telah menolak hasil rapat delapan fraksi — Gerindra, Nasdem, Golkar, PKB, PKS, PPP, Ampera, dan Demokrat, terkait surat dari Pemerintah Daerah perihal rekomendasi pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Pratama Sekwan Bone tahun 2025.
Penolakan itu dianggap sebagai pelanggaran terhadap Pasal 24 ayat (1) huruf c Tata Tertib DPRD Bone Tahun 2024, yang mengatur mekanisme keputusan fraksi. Dalam laporan tersebut juga disebutkan bahwa tindakan Ketua DPRD “telah mencederai lembaga DPRD” karena menolak keputusan kolektif fraksi.
Selain itu, Andi Tenri Walinonong juga dinilai melanggar Pasal 164 ayat (2) jo Pasal 165 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menegaskan bahwa pimpinan DPRD merupakan satu kesatuan yang bersifat kolektif dan kolegial.
Tak berhenti di situ, laporan tersebut memuat sejumlah tudingan lain, seperti: Tidak mengindahkan hasil keputusan Alat Kelengkapan Dewan (AKD), Bertindak sewenang-wenang tanpa koordinasi dengan pimpinan lain, Tidak menunjukkan sikap komunikatif dan etis sebagaimana diatur dalam Kode Etik DPRD Bone Tahun 2022 Pasal 14 (g), Melakukan perjalanan dinas saat rapat penting, sebagaimana disebut dalam surat BKAD Nomor 000.1.3/531/BKAD perihal Rapat Evaluasi Ranperda dan Ranperkada TA 2025.
Dalam laporan yang sama, para anggota DPRD juga menyoroti tindakan Ketua DPRD yang dianggap membuat surat resmi atas nama lembaga tanpa koordinasi dengan pimpinan dan anggota lain. Surat tersebut bernomor 650/905/VII/2025 perihal permintaan lelang kembali jabatan Sekretaris DPRD Bone.
Tindakan itu disebut sebagai contoh nyata pelanggaran asas kolektif kolegial, di mana keputusan lembaga diambil secara pribadi, bukan hasil musyawarah bersama.
“Pimpinan DPRD adalah satu kesatuan yang kolektif dan kolegial. Keputusan tidak dibuat secara pribadi, tetapi hasil musyawarah seluruh anggota. Tanggung jawab pun dipikul bersama,” demikian salah satu kutipan dalam laporan tertulis 35 anggota DPRD tersebut.
Mereka juga menilai, keterlambatan pembahasan dan penetapan APBD Perubahan Tahun Anggaran 2025 merupakan dampak dari kepemimpinan yang dinilai egois dan tidak mengedepankan musyawarah.
“Hal ini telah secara nyata mencederai marwah DPRD Bone sebagai lembaga perwakilan rakyat,” tulis laporan itu.
Dr. Ade Ferry mengingatkan, ada perbedaan mendasar antara mosi tidak percaya dan pelanggaran etik.
“Kalau mosi tidak percaya, itu ranah politik dan bisa disampaikan ke pimpinan partai masing-masing. Tapi kalau pelanggaran etik, itu menjadi kewenangan Badan Kehormatan (BK) DPRD,” jelasnya.
Ia menilai, penting bagi BK DPRD Bone untuk memisahkan dua persoalan ini agar penyelesaiannya tidak tumpang tindih.
“Kalau memang ini masalah etik, harus diproses sesuai aturan. Tapi kalau mosi politik, jangan dibawa ke ranah BK,” ujarnya tegas.
Kisruh di tubuh DPRD Bone ini menjadi ujian serius bagi lembaga perwakilan rakyat tersebut. Masyarakat kini menanti apakah para wakil rakyat mampu menuntaskan perbedaan pendapat ini dengan kepala dingin dan menjunjung asas kolektif kolegial sebagaimana amanat undang-undang.
“Yang paling bijak adalah menyelesaikan ini secara internal. Karena sebesar apa pun perbedaan, DPRD harus tetap menjadi contoh kedewasaan berdemokrasi bagi masyarakat Bone,” tegas Dr. Ade Ferry Afrisal (*)



Tinggalkan Balasan