Asap hitam membumbung dari gedung parlemen. Api yang melahap kursi dan ruang rapat wakil rakyat seakan menjadi metafora tentang legitimasi yang ikut terbakar. Massa yang marah meledak ke jalan, sebagian menyerukan pembubaran DPR, sebagian lagi melepaskan amarah dalam bentuk perusakan, pembakaran, hingga penjarahan. Di tengah kekacauan itu, wacana penonaktifan anggota DPR RI muncul sebagai simbol tuntutan agar sistem politik dibongkar ulang.

Namun, di balik kobaran api dan teriakan massa, sesungguhnya ada pesan yang lebih dalam: rakyat tidak lagi percaya. Mereka merasa janji politik telah dikhianati, pemilu sekadar ritual lima tahunan, sementara kehidupan sehari-hari tetap dibelenggu ketidakadilan. Inilah yang dalam teori legitimasi politik David Beetham disebut sebagai crisis of legitimacy, ketika rakyat tidak lagi melihat dasar moral dan sosial yang sah dari para pemimpinnya.

Kemarahan rakyat memang berwujud destruktif, tetapi ia berangkat dari pengalaman panjang yang tidak bisa diabaikan. Robert Dahl menyebut demokrasi sebagai sistem di mana rakyat memiliki kontrol efektif atas keputusan publik melalui wakil yang dipilih secara bebas. Akan tetapi, ketika wakil yang dipilih justru terjebak dalam transaksi politik, oligarki, dan praktik korup, maka kontrol rakyat itu lenyap. Di sinilah kontrak sosial retak, dan rakyat memilih jalan ekspresi yang ekstrem.

Tindakan kekerasan tentu bukan jawaban. Demokrasi tidak bisa ditegakkan dengan membakar simbolnya. Jurgen Habermas menegaskan bahwa demokrasi deliberatif menuntut ruang dialog yang sehat, bukan destruksi. Namun, aksi massa itu tetap penting dibaca sebagai alarm bahwa mekanisme komunikasi politik formal gagal bekerja. Saluran aspirasi yang macet, akumulasi kekecewaan terhadap korupsi dan politik uang, akhirnya menyalakan api di jalanan.

Namun, di titik ini, kita juga perlu jujur menengok akar persoalan lain yang kerap diabaikan: kultur politik sebagian besar pemilih yang masih bersifat pragmatis. Fenomena yang sering disebut sebagai “amplop politik” tidak semata praktik sepihak dari elite, melainkan juga berkelindan dengan harapan masyarakat untuk memperoleh perhatian nyata dan langsung dari para calon. Pola ini mencerminkan hubungan yang lebih menekankan pada imbal balik praktis ketimbang pada gagasan dan program jangka panjang.

Dalam kajian ilmu politik, praktik ini dikenal sebagai clientelism, yakni sebuah relasi patron-klien di mana dukungan politik sering dijembatani oleh pemberian material atau bantuan. Edward Aspinall dalam penelitiannya menegaskan bahwa praktik tersebut telah berkembang menjadi bagian dari kultur politik yang mengakar di Indonesia, sehingga ia tidak bisa dilihat hanya sebagai pelanggaran hukum, melainkan sebagai fenomena sosial yang kompleks.Konsekuensinya, demokrasi berisiko kehilangan substansi. Hubungan antara wakil rakyat dan konstituen kerap dipersepsi sebagai hubungan pertukaran jasa, bukan representasi politik yang berbasis gagasan. Ketika orientasi pemilih cenderung pada manfaat jangka pendek, kualitas pilihan politik pun tereduksi, dan pemilu terjebak menjadi arena pragmatis, alih-alih ruang kontestasi visi dan program.

Dari sudut pandang inilah kita dapat memahami, api yang membakar gedung parlemen bukan hanya simbol kemarahan rakyat terhadap elite, tetapi juga refleksi atas demokrasi yang “tertidur” dalam kultur politik yang belum sepenuhnya beranjak dari pola pertukaran praktis menuju kesadaran politik yang matang. Karenanya, momentum pasca-kerusuhan ini harus dimaknai bukan sebagai akhir, tetapi sebagai awal. Sebuah kesempatan untuk merumuskan perbaikan mendasar dalam penyelenggaraan pemilu. Tragedi ini seharusnya menjadi titik balik bagi perbaikan pemilu dan demokrasi di Indonesia. Giovanni Sartori mengingatkan bahwa demokrasi sejati tidak cukup hanya dengan prosedur, tetapi membutuhkan substansi: akuntabilitas, keterwakilan, dan integritas. Kita tidak bisa terus membiarkan pemilu menjadi ajang transaksional yang melahirkan parlemen tanpa legitimasi.

Perbaikan itu mencakup : reformasi sistem pemilu yang lebih adil, transparan, dan minim ruang manipulasi. Sistem proporsional terbuka memang memberi peluang rakyat memilih langsung wakilnya, tetapi juga membuka jalan bagi politik uang yang masif. Evaluasi menyeluruh perlu dilakukan: apakah sistem ini masih relevan atau justru memperbesar biaya politik yang menjerumuskan wakil rakyat pada praktik korupsi sejak awal.

Selain itu, pengawasan pemilu harus diperkuat. Bawaslu tidak boleh hanya menjadi penonton dengan kewenangan terbatas, melainkan benar-benar berfungsi sebagai penjaga integritas. Pengawasan partisipatif rakyat juga harus diperluas, karena sebagaimana dikemukakan oleh Archon Fung dan Erik Olin Wright melalui konsep empowered participatory governance, partisipasi warga dalam pengawasan memberi efek korektif yang lebih kuat daripada pengawasan formal semata.

Tidak kalah penting, penegakan hukum bagi pelanggar pemilu dan politisi korup harus dilakukan tanpa kompromi. Penonaktifan anggota DPR hanyalah pintu masuk simbolik, sementara akar masalah tetap pada lemahnya sanksi dan budaya impunitas. Demokrasi hanya akan pulih jika hukum benar-benar bekerja, memberi kepastian bahwa setiap pelanggaran memiliki konsekuensi.

Dan di atas semua itu, pendidikan politik jangka panjang adalah jalan utama. Antonio Gramsci mengingatkan bahwa hegemoni hanya bisa dilawan dengan kesadaran kritis. Masyarakat harus ditempa agar tidak lagi terjebak dalam pragmatisme sesaat, melainkan memahami bahwa suara mereka adalah kunci perubahan. Pendidikan politik yang konsisten, ditopang dengan perbaikan ekonomi rakyat, akan membentuk basis sosial yang tidak mudah dibeli oleh amplop atau serangan fajar.

Api yang membakar gedung parlemen memang bisa dipadamkan dengan air, tetapi api ketidakpercayaan rakyat hanya bisa dipadamkan dengan perbaikan sistemik. Dari abu itu kita harus membaca ulang demokrasi: membangun pemilu yang bersih, memperkuat pengawasan, menegakkan hukum, dan mengembalikan makna representasi sejati. Demokrasi tidak boleh terus tertidur, ia harus bangun, berdiri tegak, dan kembali kepada esensinya: kedaulatan rakyat.

Karena pada akhirnya, demokrasi bukan soal kursi yang empuk atau gedung yang megah, melainkan tentang suara rakyat yang tidak boleh dikhianati. Dan suara itu hanya bisa dijaga jika pemilu benar-benar jujur, adil, dan berintegritas. Dari jalanan yang penuh amarah itulah, kita justru bisa memulai babak baru: demokrasi yang lebih matang, lebih jujur, dan lebih berpihak pada rakyat. (*)