BONE–Jalan Manurunge di Kota Watampone kembali menjadi perhatian publik. Bukan karena kejahatan besar atau peristiwa luar biasa, melainkan karena sebuah kesalahpahaman yang berkembang liar di tengah masyarakat. Empat orang warga yang diamankan dalam operasi Satresnarkoba Polres Bone pada Jumat (2/5/2025) dinyatakan positif narkoba, namun tak dijadikan tersangka. Lalu, ke mana mereka dan bagaimana status hukum mereka?
Kasat Narkoba Polres Bone, Iptu Aditya Firmansyah, akhirnya angkat bicara. Dalam klarifikasinya, ia menekankan bahwa keempat orang tersebut berinisial AK, YY, AR, dan HZ memang diamankan saat operasi, namun tidak terbukti terlibat tindak pidana narkotika.
“Keempat orang tersebut tidak terlibat dalam operasi tapi ikut kami amankan karena sedang berada di lokasi. Jadi tidak terlibat hukum dan tak bisa kami intervensi karena tidak terlibat hukum,” ujar Aditya.
Pernyataan ini menjadi titik awal pelurusan polemik yang berkembang. Aditya menjelaskan bahwa pihaknya telah melakukan gelar perkara hingga dua kali untuk menetapkan status hukum mereka. Hasilnya tetap sama: tidak cukup bukti.
Padahal, dari hasil tes urine, semuanya menunjukkan positif narkoba. Namun hukum tidak semata-mata bertumpu pada hasil tes.
“Mereka tidak sedang mengonsumsi atau bertransaksi saat operasi berlangsung. Mereka hanya berada di lokasi karena kegiatan lain, yakni sedang mengangkat barang,” lanjut Aditya.
Dalam posisi serba salah ini, Polres Bone tidak tinggal diam. Alih-alih memaksakan proses hukum yang lemah secara bukti, mereka mengambil pendekatan kemanusiaan dan preventif dengan mengarahkan keempatnya ke program rehabilitasi. Tapi di sinilah muncul tafsir berbeda.
Iptu Rayendra Muchtar, Kasi Humas Polres Bone, meluruskan bahwa keempat orang itu bukanlah “rekomendasi resmi” untuk rehabilitasi dari Polres Bone ke BNNK Bone.
“Saya tidak pernah mengatakan mereka rekomendasi resmi. Tapi kami arahkan ke keluarga agar mengajukan asesmen ke BNNK Bone. Kami dampingi proses itu,” tegas Rayendra.
Tanggapan dari pihak BNNK Bone yang menyebut mereka datang secara voluntary atas inisiatif sendiri dan keluarga justru memantik kebingungan baru. Ada pihak yang menganggap Polres “melepaskan tanggung jawab”. Rayendra menepisnya.
“Kami tidak lepas tangan. Kami serahkan ke keluarga untuk asesmen, tapi tetap kami dampingi. Jangan disalahpahami seolah mereka datang sendiri tanpa ada peran dari Polres,” katanya.
Voluntary vs Compulsory dua istilah yang jadi sorotan. Rayendra menjelaskan, compulsory adalah asesmen wajib bagi pelaku yang terbukti secara hukum, seperti tertangkap tangan membawa sabu di bawah 1 gram. Sedangkan keempat warga ini, meski positif, tidak cukup bukti hukum.
“Maka satu-satunya jalan adalah asesmen sukarela, dan itulah yang kami arahkan,” imbuhnya.
Dari pihak BNNK Bone, petugas bernama Sandi memberikan ilustrasi serupa. Misalnya saat razia sopir, ada yang positif, maka mereka direkomendasikan rehabilitasi, bukan langsung ditetapkan sebagai tersangka. Menurut Sandi, keempat warga ini akan menjalani rehabilitasi inap di Balai Rehabilitasi Baddoka, Makassar, sebagai bentuk pemulihan, bukan penghukuman.
“Mereka pemakai rutin dan akan menjalani rehab inap, diantar oleh keluarga dan didampingi pihak Polres,” katanya.
Di sisi lain, tiga orang lain yang diamankan dalam operasi di lokasi yang sama tetap diproses hukum karena cukup bukti keterlibatan dalam transaksi atau kepemilikan barang bukti.
Kasus ini menjadi refleksi penting bahwa pendekatan terhadap penyalahgunaan narkoba tidak selalu harus berbasis pemidanaan. Ada ruang untuk pemulihan, ketika bukti hukum tak cukup tapi indikasi penyalahgunaan tetap ada. Keputusan Polres Bone menjadi langkah kompromi antara hukum, kemanusiaan, dan pencegahan. (*)



Tinggalkan Balasan