BONE–Upaya pencegahan perkawinan anak di Kabupaten Bone terus diperkuat melalui kolaborasi lintas sektor. Melalui Program Better Sexual and Reproductive Health and Rights for All in Indonesia (BERANI) II, YASMIB Sulawesi bersama UNICEF dan Pemerintah Kanada menghadirkan ruang dialog kreatif bertajuk “Lokakarya Kreasi Bersama dengan Komunitas untuk Produk Komunikasi mengenai Dampak Negatif Perkawinan Anak”.
Kegiatan ini digelar pada Kamis, 16 Oktober 2025 di Hotel Novena Watampone, dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan mulai dari pemerintah daerah, organisasi masyarakat, hingga perwakilan komunitas anak dan remaja.
Salah satu narasumber, Sekretaris Bappeda Bone Hj. Samsidar, S.Pi., M.Si, memaparkan sejumlah langkah strategis pemerintah daerah dalam mendukung pencegahan perkawinan anak.
Menurutnya, dukungan kebijakan di Kabupaten Bone sudah sangat kuat, diantaranya melalui Perda Nomor 1 Tahun 2016 tentang Sistem Perlindungan Anak (SPA) dan Perda Nomor 7 Tahun 2023 tentang Kabupaten Layak Anak (KLA).
“Dua regulasi ini telah terintegrasi dalam berbagai dokumen perencanaan daerah seperti RPJMD, Renstra, RKPD, Renja OPD, hingga Strada PPA. Bahkan juga disinergikan dengan program nasional seperti percepatan penurunan stunting, pengentasan anak tidak sekolah (ATS), kemiskinan ekstrem, dan pencegahan perkawinan anak,” jelasnya.
Namun, Hj. Samsidar menegaskan bahwa tantangan terbesar terletak pada implementasi di lapangan.
“Dari sisi regulasi sudah luar biasa, tetapi masih ada kesenjangan pada pelaksanaan. Regulasi kita tajam di atas kertas, tapi masih tumpul saat diterapkan,” ujarnya tegas.
Dari sisi kelembagaan dan sumber daya manusia (SDM), kondisi Bone dinilai cukup siap. Ia menyebut adanya Forum Anak, Forum Gender, Fasilitator Desa, Guru, Penyuluh Agama, hingga Kelompok Tani yang aktif berperan dalam sosialisasi dan advokasi pencegahan perkawinan anak. “Dari sisi SDM kita aman,” tambahnya.
Sementara itu, berdasarkan rekap data sementara tahun 2025 per Agustus dari 27 kecamatan di Bone tercatat: Anak Tidak Sekolah (ATS): 3.567 jiwa, Keluarga miskin: 6.670 jiwa, Kasus nikah anak: 401 kasus, Stunting: 882 kasus.
Pada tahun sebelumnya, 2024, juga tercatat 243 kasus anak kehamilan di luar nikah, namun hanya 10 kasus yang mengajukan permohonan dispensasi nikah.
Dalam hal pendanaan, Hj. Samsidar menegaskan pentingnya sinkronisasi sumber anggaran dari berbagai pihak.
“Pendanaan bisa bersumber dari APBN, APBD Provinsi, APBD Kabupaten, APBDesa, hibah, maupun partisipasi sektor swasta dan masyarakat. Yang penting adalah kepastian perencanaan dan penganggaran yang terintegrasi lintas sektor,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia juga menguraikan lima strategi utama pencegahan perkawinan anak, yaitu:
Optimalisasi kapasitas anak agar mampu mengambil keputusan yang tepat bagi masa depannya.
Menciptakan lingkungan yang mendukung pencegahan perkawinan anak.
Perluasan akses layanan pendidikan dan kesehatan reproduksi.
Penguatan regulasi dan kelembagaan.
Penguatan koordinasi antar pemangku kepentingan.
Selain strategi tersebut, Hj. Samsidar juga menekankan pentingnya penguatan Tim Kerja PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) di daerah, dengan dukungan rencana kerja yang jelas dan terukur. Ia menambahkan bahwa pelaksanaan program kecakapan hidup di pendidikan formal dan nonformal, serta monitoring dan evaluasi berkala, menjadi kunci agar program pencegahan berjalan berkesinambungan.
Lokakarya ini menjadi ruang inspiratif bagi berbagai elemen masyarakat Bone untuk berkolaborasi dan berinovasi dalam menyuarakan pesan anti-perkawinan anak. Melalui pendekatan komunikasi kreatif dan berbasis komunitas, diharapkan kesadaran publik semakin meningkat bahwa perkawinan anak bukan solusi, melainkan persoalan yang harus dicegah bersama. (*)
Tinggalkan Balasan